Showing posts with label biografi. Show all posts
Showing posts with label biografi. Show all posts

Sunday, March 17, 2013

Biografi Daeng Sutigna


DAENG SUTIGNA atau dalam ejaan lama DAENG SOETIGNA adalah seorang tokoh budaya Indonesia/Nusantara berasal dari Sunda (Jawa Barat) yang dikenal sebagai pencipta/penemu dan pengembang musik angklung bernada diatonis(doremi). — Lahir di Garut (Jawa Barat) pada tgl.13 Mei 1908, dan meninggal di Bandung (Jawa Barat) pada tgl. 8 April 1984, dalam usia sekitar 76 tahun (dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra Bandung). — Sejak semula tokoh yang berkecimpung dalam dunia pendidikan ini (sebagai Guru) menyukai musik dan pandai memainkan gitar dan piano; dan sudah sejak lama (dari semenjak kecil) menggemari musik angklung tradisional Sunda tempat kelahiranya. — Pada masa kecil konon ia mempunyai julukan/nama panggilan EnclĂ©.

Pernah mengenyam pendidikan di Kweekschool (1928); belajar musik secara otodidak. — Setelah lulus dari Kweekschool (1928), ia menjadi guru dan mengajar di Schakel School Cianjur, Jawa Barat (1928–1932). Kemudian pindah mengajar ke HIS Kuningan, Jawa Barat (1932–1942). Pada saat menjadi guru di Kuningan inilah ia mulai mempelajari seluk-beluk angklung secara lebih mendalam, dan berguru untuk dapat memainkan serta membuat angklung sendiri kepada salahseorang pemusik dan pembuat angklung tradisional bernama Jaya (= Djaja, dalam ejaan lama). 

Di jamannya (menjelang akhir tahun 1930-an) musik angklung tradisional Sunda nampaknya sudah menunjukkan gejala akan tersisihkan sebagai musik rakyat karena berbagai sebab (terutama mungkin karena kala itu masyarakat pendukungnya sudah kurang menyukai musik angklung, ditambah dengan mulai hilangnya upacara adat pertanian sakral menurut kepercayaan lama yang biasa menggunakan angklung sebagai alat pengiring utama, dan lagi gaya hidup masyarakat kala itu yang bertambah moderen dan cenderung kurang menyukai/menghargai musik tradisional yang dianggap berbau kuno serta lebih senang mendengarkan musik Barat yang dianggap lebih moderen). Kemudian angklung tradisional Sunda yang telah lama mentradisi tersebut lambat-laun menjadi tersisihkan dan hanya sering dimainkan oleh pengamen/pengemis yang keliling kampung saja.

Dalam keadaan seperti itu Pa Deng (begitu panggilan akrabnya) di rumah kediamannya di Kuningan pada suatu hari (pada tahun 1938) kedatangan  dua pengamen angklung yang memainkan angklung tradisional Sunda/bernada pentatonis. Ketika mendengar musik angklung yang digemarinya hatinya tergetar dan tesentuh kemudian dengan rasa iba ia membeli angklung pentatonis tersebut.Dalam pada itu bunyi angklung yang merdu namun melankolis itu membuat hatinya terharu sekaligus risih mengingat nasib angklung yang kurang baik; ia menghawatirkan akan nasib angklung di kemudian hari yang tak mustahil akan musna karena terpaan jaman yang tambah moderen. Namun dalam pada itu (dengan perasaan sedikit risau namun optimis) lalu ia pelajari angklung yang telah ia beli dari pengamen tersebut dengan seksama. Kemudian timbul hasrat dan semangatnya dengan sungguh-sungguh untuk mencoba melestarikannya angklung dengan cara beradaptasi terhadap situasi dan kondisi kala itu; timbul gagasan untuk modernisasi angklung dengan mengembangkannya ke arah lain dalam bentuk baru yang secara adaptif menyesuaikan dengan keadaan zaman. — Setelah mampu membuat angklung sendiri, ia berupaya membuat angklung bertangganada diatonis, dengan berbekal kepandaiannya dalam memainkan beberapa alat musik asal Barat, seperti gitar dan piano, maka kemudian terciptalah musik angklung diatonis.

Pada awalnya ide baru ini kurang begitu mendapat perhatian dan bahkan tak mustahil ada sementara pihak yang tidak/kurang setuju, namun pendiriannya tetap kukuh dan gigih untuk terus membuat angklung bernada musik Barat (diatonis) tersebut, dengan cara diperkenalkan dan diajarkan pada anak muridnya di Sekolah (pada mulanya secara khusus pada anak pramuka/pandu kala itu; setelah dikenal di kalangan Pramuka sebagai alat musik yang menyenangkan, akhirnya permainan musik angklung diatonis bisa diterima dan kemudian diajarkan di sekolah-sekolah).

Dalam usaha tahap memperkenalkan lebih lanjut ke dunia yang lebih luas iapernah mendapatkan kesempatan untuk memainkan angklung diatonis ciptaannya dalam forum Perundingan Linggarjati pada 12 November 1946 (yang dihadari banyak tokoh asing, baik dari Belanda maupun pihak sekutu dan lainnya). Lalu atas permintaan Presiden Soekarno ia mendapat kehormatan untuk memainkan lagi pertunjukan angklung tersebut di Istana Negara, Jakarta, dalam acara perpisahan dengan Laksamana Lord Louis Mountbatten, Panglima Tentara Sekutu untuk Asia Tenggara (yang juga ikut hadir pada acara Perundingan Linggar Jati di Kuningan).Selain itu kemudian pada tahun 1955 dalam kesempatan acara Konferensi Asia Afrika di Gedung Merdeka, Bandung. Ia juga diminta menggelar konser angklung hasil kreasinya. Sejak itu, angklung diatonisnya sering dipertunjukan dalam berbagai acara resmi, seperti dalam World Fair di New York, Amerika Serikat (1964), di mana ia memimpin pertunjukan kesenian Indonesia termasuk angklung di paviliun Indonesia selama 8 bulan. Lalu dilanjutkan dengan mengadakan pertunjukan di Negeri Belanda dan Perancis. Tahun 1967 ia pun mengadakan pertunjukan muhibah berkeliling di berbagai kota di Malaysia.

Atas jasa-jasanya dalam mengembangkan musik angklung, Daeng Soetigna (Pa Daeng) — yang pernah mendapat tugas belajar Colombo Plan ke Australia (1955-1956) ini — mendapat piagam penghargaan dari beberapa pihak yakni Piagam Penghargaan dari Gubernur Jawa Barat (1966), Piagam Penghargaan dari Gubernur DKI Jakarta (1968), Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden Soeharto (1968), Anugerah Bintang Budaya Parama Dharma (2007) dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan diusulkan untuk mendapat gelar pahlawan Nasional dari Jawa Barat dalam bidang seni dan budaya.
 
Dalam tahap selanjutnya angklung diatonis yang kemudian dikenal juga dengan sebutan Angklung Pa Daeng atau Angklung Indonesia kemudian dikembangkan oleh Ujo Ngalagena sebagai muridnya sekaligus sebagai pelanjutnya yang pada tahun 1966 membangun Sanggar Angklung Mang Ujo di Bandung, yang kini dikenal sebagai Saung Angklung Ujo (SAU).  — Di Saung Angklung Ujo ini (di Jl Padasuka Bandung) pada 20 Desember 2008 para seniman Jawa Barat pernah mengadakan suatu acara khusus untuk  mengenang dan melakukan penghormatan terhadap jasa-jasa Pa Daeng, dengan tema : ‘Daeng Soetigna : A-trail Top Inovation In World Music History’, yang diisi dengan berbagai seminar yang dipandu oleh musisi Dwiki Dharmawan.

sumber: berbagai sumber
 

Biografi Mang Udjo



       Udjo Ngalagena (lahir 5 Maret 1929 – meninggal 3 Mei 2001 pada umur 72 tahun) adalah seniman angklung asal Jawa BaratIndonesia dan pendiriSaung Angklung Udjo. Ia merupakan anak keenam dari pasangan Wiranta dan Imi. Pada usia antara empat sampai lima tahun, Udjo kecil sudah akrab dengan angklung berlaras pelog dan salendro yang kerap dimainkan di lingkungannya dalam acara mengangkut padi, arak-arak khitanan, peresmian jembatan, dan acara-acara yang melibatkan keramaian massa lainnya.
       Selain belajar angklung Ia juga mempelajari pencak silat, gamelan dan lagu-lagu daerah dalam bentuk kawih dan tembang. Ia mempelajari lagu-lagu bernada diatonis dari HIS berupa lagu-lagu berbahasa Indonesia dan Belanda. Bakat serta kemampuannya makin berkembang ketika Ia mulai terjun sebagai guru kesenian di beberapa sekolah di Bandung. Untuk mempertajam kemampuannya Ia langsung mendatangi orang yang ahli dalam bidangnya. Teknik permainan kacapi dan lagu-lagu daerah Ia belajar dari Mang Koko. Gamelan Ia pelajari dari Raden Machjar Angga Koesoemadinata, dan untuk angklung do-re-mi (diatonis) Ia dapat bimbingan dari Pak Daeng Soetigna (pencipta angklung bernada Diatonis).
       Pengetahuan-pengetahuan tersebut kemudian diolahnya dalam bentuk paket pertunjukan untuk pariwisata dengan mengutamakan materi sajian angklung di sanggarnya (Saung Angklung Udjo). Kehadiran sanggar ini merupakan suatu sarana bagi Udjo untuk dapat mencurahkan jiwa kependidikan yang dimilikinya melalui seni angklung, sekaligus sebagai sarana penyaluran jiwa kewirausahaannya dengan menjual pertunjukan maupun alat musik bambu.
       Tamu-tamu luar dan dalam negeri berdatangan setiap sore untuk menikmati sajian pertunjukan kesenian tradisional berkwalitas tinggi khas Jawa Barat, tak jarang mereka selalu ikut larut dalam permainan angklung dan tarian anak-anak belia. Dari mulai Wayang, Tarian dan Angklung mampu membuat takjub para pengunjung untuk datang berkali-kali ke Saung Angklung Udjo. Jiwa entertainer Udjo mampu menyatukan antara kesenian, anak-anak dan lingkungan menjadi sebuah sajian pertunjukan yang harmonis di depan para pengunjungnnya.
       Kepiawaian dan keahlian Udjo ternyata menurun kepada para putra-putrinta. Awal tahun 90-an mulailah era putra-putrinya yang meneruskan SAU di bawah bimbingan Udjo sendiri. Karena kondisi kesehatan pun Udjo sudah jarang untuk memimpin sebuah pertunjukan, hanya sesekali apabila sedang sehat Udjo muncul dalam pertunjukan yang dipimpin oleh para putranya sekedar mengucapkan salam ke pada para pengunjung dalam berbagai bahasa (Inggris, Belanda, Prancis, Jerman serta negara lainnya).
       Sepeninggal Udjo Ngalagena ( 03 Mei 2001 ) SAU mulai diteruskan oleh para putra - putri. Tak ada yang berubah SAU tetap ramai dikunjungi para touris dalam dan luar negeri, anak-anak masih riang gembira memainkan angklung. Gemuruh tepukan dan senyum kagum penonton masih selalu hadir di setiap akhir pertunjukan.
" What You Are, What Job You Have Choosen, Do It Well, Do It With Love, Without Love, You Are Dead Before You Die " Udjo Ngalagena ( 05 Maret 1929 - 03 Mei 2001 ).

sumber : wikipedia
 

Sunday, January 27, 2013

Biografi Ki Nartosabdo


Ki Nartosabdo (lahir di – Klaten, 25 Agustus 1925, meninggal di Semarang, 7 Oktober 1985 pada umur 60 tahun) adalah seorang seniman musik dan dalang wayang kulit legendaris dari Jawa Tengah, Indonesia. Salah satu dalang ternama saat ini, yaitu Ki Manteb Soedharsono mengakui bahwa Ki Nartosabdo adalah dalang wayang kulit terbaik yang pernah dimiliki Indonesia dan belum tergantikan sampai saat ini.

Meskipun berasal dari Jawa Tengah, namun Ki Nartosabdo muncul pertama kali sebagai dalang justru di Jakarta, tepatnya di Gedung PTIK yang disiarkan secara langsung oleh RRI pada tanggal 28 April 1958 Lakon yang ia tempilkan saat itu adalah Kresna Duta. Pengalaman pertama mendalang tersebut sempat membuat Ki Narto panik di atas pentas karena pada saat itu pekerjaannya yang sesungguhnya ialah pengendhang grup Ngesti Pandowo.

Penampilan perdana itu langsung mengangkat nama Ki Narto. Berturut-turut ia mendapat kesempatan mendalang diSolo, Surabaya, Yogya dan seterusnya. Lahir pula cerita-cerita gubahannya, seperti Dasa Griwa, Mustakaweni, Ismaya Maneges, Gatutkaca Sungging, Gatutkaca Wisuda, Arjuna Cinoba, Kresna Apus, dan Begawan Sendang Garba. Semua itu ia dapatkan karena banyak belajar sendiri, tidak seperti dalang lain yang pada umumnya lahir dari keturunan dalang pula, atau ada pula istilah dalang kewahyon (mendapat wahyu).

Karena sering mementaskan lakon carangan Ki Narto pun sering mendapat banyak kritik. Ia juga dianggap terlalu menyimpang daripakem, antara lain berani menampilkan humor sebagai selingan dalam adegan keraton yang biasanya kaku dan formal. Namun kritikan-kritikan tersebut tidak membuatnya gentar, justru semakin banyak berkarya.

Ki Nartosabdo dapat dikatakan sebagai pembaharu dunia pedalangan di tahun 80-an. Gebrakannya dalam memasukkan gending-gending ciptaannya membuat banyak dalang senior yang memojokkannya. Bahkan ada RRI di salah satu kota memboikot hasil karyanya. Meskipun demikian dukungan juga mengalir antara lain dari dalang-dalang muda yang menginginkan pembaharuan di mana seni wayang hendaknya lebih luwes dan tidak kaku.

Selain sebagai dalang ternama, Ki Narto juga dikenal sebagai pencipta lagu-lagu Jawa yang sangat produktif. Melalui grup karawitan bernama Condong Raos yang ia dirikan, lahir sekitar 319 buah judul lagu (lelagon) atau gending, antara lain Caping Gunung, Gambang Suling, Ibu Pertiwi, Klinci Ucul, Prau Layar, Ngundhuh Layangan, dan Rujak Jeruk.
            
sumber: wikipedia
 

Wednesday, January 23, 2013

Biografi Bill Saragih

Bill Amirsjah-Rondahaim Saragih Garingging (lahir di Sindar RayaSimalungunSumatera Utara1 Januari 1933 – meninggal di Jakarta29 Januari 2008 pada umur 75 tahun) adalah salah seorang maestro musik jazz Indonesia. Ia dan istrinya Anna Rosemary Saragih (meninggal Januari 1999) dikaruniai dua orang anak: John Anthony Saragih dan Leoni Tiana Saragih.

Bill sempat mengenyam pendidikan di bangku kuliah fakultas hukum Universitas Indonesia tahun 1962-1964 namun perhatiannya besarnya tetap pada musik jazz. Pada usia enam belas tahun, ia telah menjadi pemimpin band "Billy Trio" (1949-1954). Ia kemudian memimpin band "Jazz Riders" (1962-1965) sebelum akhirnya mulai memimpin band-band yang memanggul namanya yang tampil di luar negeri seperti "Bill Saragih and The Blue Notes" (1966-1972 di BangkokThailand) dan "Bill Saragih Trio" (1972-1979 di SydneyAustralia).

Pada tahun 1978 ia mulai mempelajari cara mengajarkan musik jazz dengan lebih mendalam dengan, pertama-tama, meraih diploma dari Berklee College of Music lewat Berklee Correspondence Course. Ia kemudian belajar pada David Baker dari Universitas IndianaAmerika Serikat, dan Jamey Aebersold mengenai pengajaran improvisasi musik jazz. Setelah itu, antara tahun 1979-1988, Bill menjadi Direktur dan Pengajar di Bill Saragih Musical Services.

Dalam karier musiknya, Bill meraih berbagai penghargaan, diantaranya:
§ JIJF Awards, Jakarta International Jazz Festival, 1991;
§ The Blue Note Award, Blue Note; 1977-98,
§ Asean Development Citra Award, Asean Programme Consultant Indonesia Consortium.

  Bill juga pernah menjadi anggota berbagai organisasi, seperti:
§ 1972-88 Member, Musicians Union of Australia;
§ 1975-88 Member, Music Arranger Guild of Australia;
§ 1992-present, Member, Indonesian Composers Right Association

Bill Saragih meninggal dunia pada tanggal 29 Januari 2008 di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta akibat serangan stroke. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, pada tanggal 1 Februari 2008.]

thanks to Wikipedia