Thursday, January 24, 2013

Drama (Tugas Bahasa Indonesia)

DIA SAHABAT TERBAIKKU


(Di sebuah sekolah rintisan bertaraf internasional, saat para siswa kelas VIII B mengikuti pelajaran IPS)
Pak Guru               : “Mohon perhatian, anak-anak. Hari ini, bapak akan membagikanhasil  ulangan IPS kemarin kamis. Menurut bapak, hasilnya sudah lumayan bagus semua.” (memegang
kertas) “Sekarang bapak akan bagi, ya...” (berjalan sambil membagikan kertasnya).
(memberikan kertas pada Salma) “Salma, setelah pulang sekolah nanti, temui bapak di
ruang bapak, ya.”
Salma                    : “Oh, ya pak.”

(Bel tanda pulang sekolah berbunyi. Para siswa segera berdoa dan keluar kelas. Salma pun memenuhi panggilan Pak Guru untuk menemui beliau di ruangannya.)
Salma                  : “Permisi, Pak.”
Pak Guru             : “Eh, iya, kamu Salma. Ayo masuk !” (memegang buku, berbalik badan, membenahi kacamata, lalu duduk di kursi)
Salma                   : “Maaf, Pak. Ada perlu apa bapak memanggil saya?”
Pak Guru             : “Salma,” (menegakkan punggungnya) “E, dalam waktu dekat, Dinas Pendidikan Provinsi akan mengadakan lomba siswa teladan. Sebelumnya, kamu sudah tahu, kan, siapa
wakil dari sekolah kita untuk ikut lomba itu ?”
Salma                    : “Kak Apri, kan, Pak ?”
Pak Guru             : “Ya, kamu benar sekali.”
Salma                    : “Lalu apa hubungannya dengan saya, Pak ?”
Pak Guru             : “Itulah yang menjadi masalahnya. Kabarnya lomba itu akan diadakan sekitar dua bulan lagi. Dan minggu depan Kak Apri harus pindah dari sekolah ini. Jadi begini, Salma.
Berhubung Kak Apri harus pindah dari sekolah dan tidak mempunyai waktu lagi untuk
berlama-lama di sini, kami para guru telah setuju kalau kamu yang akan mengikuti lomba itu.”
Salma                    : “Apa?! Saya?! Maaf, Pak. Atas dasar apa para guru memilih saya ?! Saya kan hanya seperti ini, Pak. Saya bukan siswa teladan, Pak.”
Pak Guru             : “Nilai akademik dan non-akademik kamu bagus, Salma. Oh, iya, bapak dengar
keluargamu sedang kesulitan ekonomi. Benar begitu?!”
Salma                    : “Mmm, iya, Pak.”
Pak Guru             : “Nah, jika kamu memperoleh tiga besar, kamu akan memperoleh beasiswa, Nak. Jadi gunakan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya.
Salma                    : “Oh, benarkah, Pak ?! Terima kasih banyak, Pak.”

(Sepulang sekolah di lobi sekolah)
Dimas + Farel       : (datang tergopoh-gopoh) “Virna, Virna!”
Virna                     : (duduk di kursi lalu berdiri) “Ada apa, sih? Kok kayaknya penting banget?” (datar)
Farel                      : “Ini emang penting banget, Virna. Penting!”
Virna                     : “Ya cerita, dong. Bikin penasaran aja.”
Dimas                   : “Tau nggak? Masak Salma mau ikut lomba siswa teladan?!”
Virna                     : “Terus gue harus bilang... Apa kata lo?!! Salma?! Ikut lomba siswa teladan ?!!”
Dimas                   : “Ee, iya.”
Virna                     : “Apa?!! Ini ngak boleh terjadi ! Mana mungkin si siswa teladan itu anak orang miskin?! Lagipula dia itu sekolah di sekolah sebagus ini karena bantuan ayahku. Kalau ayahku nggak membantu, paling dia cuma sekolah pinggiran. Ini nggak boleh terjadi!”
Dimas                   : “Jadi, kita harus melakukan sesuatu?!
Virna                     : “Ya!”

(lalu mereka berdua duduk di kursi lobi, beberapa lama kemudian)
Dimas                   : “Aha!!”
Virna                     : “Apa ?! Apa idemu??
Dimas                   : (membisikkan ke telinga Virna)
Farel                      : “Eh, enak aja. Aku juga mau tahu, dong...”
Dimas                   : (membisikkan ke telinga Farel)
Virna                     : “Boleh juga, sih, tapi apa nggak terlalu berisiko ?”
Dimas                   : “Serahin aja sama aku. Dijamin, deh !”
Farel                      : “Iya, serahin aja sama kita. THE SECRET AGENTS. Hehehe.” (tertawa)
Virna                     : “Siip !” (menempelkan jempol tangannya dengan jempol tangan Dimas dan jempol satunya menempel di jempol Farel)
Dimas + Farel     : “Siip !!”
*****
(Siang hari di ruang kelas)
Dimas                   : “Salma, aku mau bayar uang kas bulan ini, dong. Balum telat, kan ?”
Salma                    : “Oh, belum kok. Bentar aku ambil buku sama dompetnya dulu.” (mengambil uang dan dompet di dalam tas) “Lho, kok. Kok. Kok dompetnya nggak ada ” (lirih lalu mencoba di sisi tas yang lain)
Dimas                   : “Kenapa, Salma?”
Salma                    : “Oh, nggak papa kok. Mana uangmu?”
Dimas                   : “Ini. Makasih.” (memberikan uangnya)
Salma                    : “Ya, sama-sama” (menulis di buku catatan, lalu mencoba mencari dompetnya kembali di sisi tas yang lain, setelah itu mengeluarkan semua isi di dalam tasnya.)
Zahir                      : “Salma, kamu lagi ngapain? Lagi membersihkan isi tas ?”
Salma                    : “Mmm, nggak papa kok” (tersenyum)
****

(Sepulang sekolah, di taman belakang sekolah)
Zahir                      : (berjalan lalu berhenti sesaat) “Salma ? Kamu kok di sini ?! Kamu belum pulang ?!”
Salma                    : (menggeleng lesu)
Zahir                     : (mendekat)“Salma? kamu kenapa ? Kok nggak kayak biasanya? Cerita sama aku, Salma.                 Salma, kita tuh teman. Apapun yang terjadi, kamu cerita aja sama aku. Aku bisa jaga rahasia, kok.”
Salma                    : “Aku harus gimana? Maaf, Zahir. Aku nggak bisa menjaga amanat kalian sebagai rakyat kelas.”
 Zahir                     : “Iya, emangnya ada apa?”
Salma                    : “Uang kas kelas kita bulan ini dan bulan kemarin hilang.”
Zahir                      : “A..apa ? Hilang? Kok bisa ??!”
Salma                    : “Oke, Zahir. kalau aku cerita sama kamu mungkin ini lucu dan cuma main-main dan juga cuma rekayasa. Tapi kali ini aku ngomong serius”
Zahir                      : “Ya, kamu cerita aja.”
Salma                    : “Tadi, Dimas mau bayar uang kas bulan ini.Tapi, setelah aku membuka tas, dompet itu sudah nggak ada di tasku lagi.Yang pasti, aku nggak pernah sekali-sekali ngeluarin dompet kas itu dari tas di rumah.”
Zahir                      : “Terus, dompet itu sekarang ada di mana?!”
Salma                    : (hanya menaikkan bahu dengan wajah pasrah)
*****
Rara                       : “Salma, sabun pel lantai kelas kita abis, nih. Pulang sekolah nanti, kita beli, ya.”
Salma                    : “Tapi Rara....”
Rara                       : “Kenapa?”
Salma                    : (menarik tangan Rara ke taman belakang sekolah) “Rara, aku mau cerita sama kamu. Uang kas kita...hilang.”
Rara                       : “Ha?? Hilang??! Kok bisa, sih??! ”
Salma                    : “Aku nggak tahu. Tiba-tiba di tasku udah nggak ada.”

***



(Di kantin sekolah)
Rara                       : “Duh, gimana dong ini? Uang kas kita hilang”
Virna                     : “Apa ?!! Hilang?!!” (terkejut)
Farel                      : (mendekat) “Kalau menurut gue, sih, dia paling korupsi. Dia, kan, miskin. Mana mungkin juga, kan, kalau uangnya tiba-tiba hilang. Masak dompet bisa lari sendiri. Mana mungkin?!”
Rara                       : “Tapi mana mungkin Salma yang selama ini baik hati berbuat kayak gitu ?!”
Virna                     : (tersenyum)“Rara, ini, tuh, zaman modern. Orang yang baik hati sekalipun bisa jadi terbalik 180 derajat kalau ada kesempatan.”
Rara                       : “Iya, juga, sih. Dasar orang miskin! Bisanya cuma melorotin harta kelas!”


****


(Di halaman sekolah)
Rara                       : “Salma, kamu, kan? Yang ngambil uang kas kelas kita?!”
Salma                    : “Maaf, maksudmu apa, ya?”
Rara                       : “Kamu, kan, miskin. Mana mungkin ada uang sebanyak itu nggak kamu ambil.
Kejahatan itu datang bukan hanya ada niat, tapi juga karena ada kesempatan. Kayak gitu kok ikut lomba siswa teladan !!”
Salma                    : “Baik, Rara, aku memang miskin.Tapi bukan berarti aku pencurinya. Lagi pula apa bukti kalau aku pencurinya.”
Rara                       : “Huh, dasar orang miskin! Kamu tuh nggak pantes buat ikut lomba siswa teladan. Bener-bener nggak bisa buat jadi panutan!”
Salma                    : (mata berkaca-kaca)


****

(Dua hari berikutnya, sepulang sekolah)
Salma                    : (berjalan menuju ruang guru) “Permisi, Pak.”
Pak Guru             : “Eh, Salma. Ayo masuk. Duduklah. Ada apa, Salma ?”
Salma                    : (duduk) “Sebelumnya saya minta maaf, Pak. Saya ingin mengundurkan diri dari lomba siswa teladan, Pak.” (bicara pelan)
Pak Guru             : “Lho, kenapa? Apa hanya karena kasus itu kamu mengundurkan diri. Lagipula kan kamu sudah pernah mengatakan bahwa kamu bukan pencurinya, dan itu memang tidak ada buktinya.”
Salma                    : “Tapi, Pak. Saya malu dengan teman-teman saya.”
Pak Guru             : “Kamu malu dengan celaan mereka? Hiraukan saja celaan mereka kalau kamu memang tidak melakukannya.”
Salma                    : “Pak, saya sudah tidak pantas menjadi siswa teladan yang diharapkan.”
Pak Guru             : “Tidak, Salma. Apapun yang terjadi, kamu harus tetap ikut lomba itu. Kami para guru telah menaruh kepercayaan padamu. Hargailah kepercayaan kami.” (tersenyum)
Salma                    : “Ya, Pak.” (tersenyum)


****


(Saat pelajaran Bahasa Indonesia berlangsung)
Salma                    : “Zahir, menurutmu nomor 27 yang mana jawabannya?”
Zahir                      : (menunduk, menaruh kepalanya di meja)
Salma                    : “Zahir, Zahir, Zahir.” (menggoyang bahu Zahir) “Zahir, kamu kenapa ?!”
Zahir                      : “Kepalaku pusing, Salma.” (lirih sambil memegang kepala)
Salma                    : “Zahir, kamu ke UKS aja. Nanti malah tambah parah. Ayo, Zahir.” (berjalan ke meja Pak Guru) “Bu, mau ijin ke UKS, kepala Zahir pusing, Bu.”
PakGuru               : “Oh, ya sudah. Tolong antar Zahir ke UKS ya. Bapak juga mau ke ruang guru dulu.”
Salma                    : “Ya, Pak. makasih, Pak.” (berjalan kembali ke bangku Zahir lalu menuntun Zahir ke UKS)


(Berjalan ke UKS yang tidak jauh dari ruang kelas mereka. Mereka pun sampai.)
Salma                    : “Zahir, istirahatlah.” (Membaringkan Zahir,lalu menyelimutinya.)
Zahir                      : “Makasih, Salma.” (lirih)
Salma                    : “Zahir, aku ke kelas dulu, ya. Nanti aku ke sini lagi.”
Zahir                      : “Ya.” (lirih)
Salma                    : (meninggakan ruang UKS)
Zahir                      : “Apaan sih ini ? Kok bantalnya nggak rata gini.” (bangun, lalu mengeluarkan bantal dari sarung bantal) “Hah?!! kok ada dompet di sini, sih ??” (memegang dompet) “Kayaknya, aku pernah lihat dompet ini, deh. Lho?? Bukannya ini punya... Ini kan punya Salma. Ya ampun...! Lho,, tutup pena  punya siapa, ini? (mengambil sebutir tutup pena berwarna       pink dari dalam dompet). Jangan-jangan ini...”

***


(Bel tanda pulang sekolah berbunyi)
Zahir                      : “Salma ! Salma !” (berlari tapi agak pelan menuju Salma yang sedang berdiri di teras kelas)
Salma                    : “Loh, Zahir ? Kamu udah baikan? Kamu udah nggak pusing lagi ?? Aku baru aja mau ke UKS.” (agak terkejut dan memegang tangan Zahir)
Zahir                      : “Aku nggak papa kok. Salma, dompet ini punya kamu, kan ?!”
Salma                    : “Zahir!! Oh, alhamdulillah, ya Allah! Zahir, kenapa dompet ini ada di kamu?!” (girang)
Zahir                      : “Tenang, Salma. Aku nemu dompet ini di dalam sarung bantal di UKS. Dan satu lagi, aku nemu ini di dalam dompet kamu.” (mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya)
Salma                    : “Tutup pena?!”
Zahir                      : “Ini adalah tutup pena punya Virna. Ya, aku kenal betul dengan penanya. Kamu ingat,  kan? Ini tuh tutup pena yang waktu itu Virna pamer sama kita.”
Salma                    : “Oh, jadi maksudmu, ada dugaan kalau Virna yang sebenarnya mencuri dompetku?”
Zahir                      : “Mmm, mungkin saja, tepatnya Virna dan kawan-kawan.” (tersenyum)
Salma                    : (tersenyum terharu lalu memeluk Zahir)
****
(di kantin sekolah, )
Zahir                      : “Hai, Virna!” (mendekat, lalu duduk di samping Farel)
Virna                     : “Ada apa?” (sambil terus minum es teh)
Zahir                      : “Ee, Virna. Apa kamu pernah melihat dompetnya Salma??”
Virna                     : “Iya, kemarin gue malah ngambil itu dompet. Ups! Aaaa, maksud gue, gue nggak pernah liat dompet itu! Bener, deh!  Suer! “ (tersenyum kecut)
Zahir                      : “Mmm. Oh, iya.” (mengeluarkan sebuah benda dari dalam saku bajunya) “Bukankah ini punyamu??”
Virna                     : (merebut tutup pensil dari tangan Zahir)“Iya. Lho? kok bisa ada di lo, sih ?? Gue udah cari kemana-mana ternyata ada di elo. Elo nyuri, ya? Ini tuh pena dari                               Kanada, tau! Ini mahal...”
Zahir                      : “Oh, maaf, aku nemu di sini” (menunjukkan dompet Salma)
Virna                     : “Lho?! Kk..kk..kk..kok  dompet itu ad...ada... d...di elo, sih ???”
Zahir                      : “Iya, aku nemu ini di dalam bantal UKS” (nada tenang) “Apa kamu yang ngambil?”
Virna                     : “Ap..apa kata loh?!! Gue nyuri ?!! Hei, yang benar aja! Gue tuh anak donatur   terbesar di sekolah ini. Mana mungkin gue nyuri uang kas yang nggak ada gunanya   itu!! ” (gugup)
Zahir                      : “Aku nggak mengatakan kalau kamu nyuri untuk kamu sendiri. Tapi kamu mencuri untuk menjebak Salma, kan?! Supaya dia nggak ikut lomba siswa teladan lagi??? Yaa..       biar namanya agak tercemar gitu, deh..”
Virna                     : (mata melotot) “Heh, kalau jadi orang tuh jangan asal nuduh sembarangan gitu ya. Kalau lo berurusan sama gue, lo bakal tau sendiri akibatnya.” (pergi)
Zahir                      : (berdiri) “Aku mau tanya sekali lagi.”
Virna                     : (berhenti)
Zahir                      : “Simpel kok. Kenapa tutup pena itu ada di dompet Salma?!  Apalagi Salma tuh kalo nyimpen benda berharga kayak gitu tuh rahasia banget. Cuma dia yang tahu. Dia juga nggak mungkin nyuri. Dia kan juga punya pena dari Kanada pemberian Aurel. ”
Virna                     : (pergi dengan perasaan kesal)

****

(Di Gerbang sekolah)
Virna                     : “Farel sama Dimas ke mana, sih?? Katanya disuruh nunggu di gerbang sekolah jam dua. Eh, mereka sendiri malah belum nongol.” (melihat jam tangan di tangan kirinya)       “Jangan-jangan mereka masih di kantin sekolah. Aduh, makan apaan sih mereka di sana ? Lama banget.” (masuk lagi dan menuju kantin sekolah)
(sesampainya di kantin sekolah)
Virna                     : (melihat sekelilingnya) “Lho? Kok Farel sama Dimas nggak ada, sih. Biasanya, kan, abis   sekolah mereka nongkrong sambil makan tahu kupat di kantin. Kok nggak ada, ya?”
Zahir                      : (di belakang Virna) “Kamu nyari Farel sama Dimas?”
Virna                     : (berbalik badan) “Farel?! Dimas?!” (terkejut)
Farel                      : (tangannya di pegang Kevin) “Tolong kita, Virna.”
Dimas                    : (tangannya di pegang Kevin juga ) “Iya, Virna. Tolong kita.”
Virna                      : “Heh, Zahir! Apa-apaan sih kamu ini?! Pake acara borgol segala.”
Zahir                      : “Virna, aku cuma pengen kasih tau aja sama kamu. Sebenernya salah Salma sama kamu tuh apa sih ? Teganya kamu melakukan itu sama dia. Salah dia apa ?! Oke, dia emang miskin. Tapi bukankah pada hakikatnya manusia sama. Enggak itu kaya, enggak itu miskin. Itu sama aja! Virna, dia itu temenku. Bukan. Tapi dia sahabatku. Dia sahabat terbaikku. Wajar, dong, kalau aku nggak terima perlakuan kamu sama dia. Hatiku juga   sakit. Hatiku sakit kalau hatinya sakit.” (memegang dadanya) “Kevin, lepasin mereka. Kita pulang aja.” (pergi)
Kevin                     : (melepaskan peganggannya)
Virna                     : (matanya berkaca-kaca, tapi mencoba untuk menahan)
Farel + Dimas        : “Bos ?”
Virna                     : (memberi isyarat untuk tidak melanjutkan kata-kata Farel+Dimas)


*****

(Di pagi hari, di ruang kelas, saat kelas baru beberapa orang yang datang)
Virna                     : (duduk di kursi sambil memainkan jarinya dan menggigit-gigit bibirnya. Lalu berdiri dan berjalan menuju Salma yang sedang membaca buku)
Salma                    : (tahu Virna mendekat, keluar kelas)
Virna                     : (lekas memegang lengan Salma) “Salma.”
Salma                    : “Iya, ada apa?” (pandangan tidak ke arah Virna)
Virna                     : “Kenapa elo menjauh dari gue??”
Salma                    : “Aku cuma nggak ingin bikin kamu mual.”
Virna                     : “Salma,” (memegang kedua tangan Salma) “Maafin gue. Gue udah berbuat kayak gitu sama kamu. Gue iri sama elo. Dulu gue cuma mikir, kenapa orang miskin kayak kamu yang mendapat segalanya. dapat kesempatan untuk lomba, dapat pujian dari guru,dan masih banyak. Maafin gue, maafin juga temanku Farel dan Dimas. Mereka  berbuat kayak gitu juga karena gue. Gue mohon, maafin gue.”
Salma                    : “Virna,” (memegang kedua tangan Virna) “Dari dulu, sebelum kamu minta maaf, aku   udah maafin kamu.” (tersenyum)
Virna                     : (tersenyum bahagia lalu memeluk Salma) “Maafin aku, Salma.”
Zahir                      : (masuk kelas, namun melihat Virna, ia cepat-c
epat keluar lagi. Ia hanya mengintip dari  pintu. Ia tersenyum haru) “Terima kasih, Ya Allah.”

(Akhirnya mereka pun saling bersahabat. Salma, Virna, Dimas, Farel, dan Zahir saat ini membentuk suatu buatan mereka sendiri band yang mereka beri nama “BUDDIES BAND”. Virna sebagai vokalis, Salma sebagai pianis, Dimas sebagai gitaris, Zahir sebagai basis, dan Farel sebagi drumer. Namun, saat ini Salma sedang sibuk dengan lomba yang akan diikutinya. Ya, lawan pun menjadi kawan. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.)

**SELESAI**

2 comments:

  1. wah...wah...wah...
    naskah drama yang itu ya???
    hebat

    ReplyDelete